Pada Agustus 1984, saya merasa sakit pada ke dua pundak sampai ke pinggang seperti habis melakukan kerja berat. Satu minggu kemudian, ketika baru bangun pagi, ke dua kaki saya rasanya berat, kaku dan tidak bisa diangkat. Saya segera dibawa ke sebuah RS di kota Ambon. Di RS ini, dada dan kaki saya dirontgen, tetapi tidak ditemukan sakit apa-apa. Setelah dirawat inap selama 1 hari, kaki saya dapat digerakkan kembali. Tetapi, saya harus berpegangan pada tembok jika akan berjalan. Dokter menganjurkan saya untuk terapi jalan/latihan jalan setiap pagi dan sore selama ± 4-5 jam. Setelah ± 2 bulan tidak ada kemajuan apa-apa, saya memutuskan untuk keluar dari RS.
Pada awal tahun 1985, saya dipindahkan ke RSAD di kota Ambon. Dokter hanya memperkirakan ada kerusakan di tulang punggung saya dan menyarankan untuk berobat ke RSPAD di Jakarta.
Pada bulan Maret 1985, saya dibawa ke RSPAD di Jakarta. Berdasarkan hasil rontgen pada tulang punggung saya, diketahui ada 4 tulang punggung saya yang sudah keropos, yaitu 1 tulang antara tulang leher dan punggung, 2 tulang bagian tengah dan 1 tulang di batas pinggang dan punggung. Sedangkan, dua tulang saya yang paling bawah, yaitu di bagian pinggul, nyaris terlepas. Dokter mengatakan, bahwa tulang saya kekurangan kalsium. Akibatnya, bila tulang saya yang keropos itu patah, maka saya akan lumpuh total. Dokter menyarankan, supaya tulang yang keropos itu di operasi dan dipasang pen. Saya menyetujui saran dokter tersebut, karena saya ingin sembuh. Satu minggu sebelum operasi, saya tidak boleh bergerak sama sekali dan harus istirahat total. Pada bulan April 1985, saya dioperasi. Tulang punggung yang keropos dipasang pen. 15 hari setelah operasi, saya di gips dari pinggul sampai ke dada untuk menjaga supaya tulang saya tidak bergeser.
Pada tanggal 19 Desember 1985, saya pulang ke Ambon dengan kondisi masih memakai kruk dan kaki kiri belum bisa menapak ke lantai dan tidak bisa ditekuk. Dua tahun kemudian, yaitu pada tahun 1987, saya melepas kruk dan memakai tongkat berkaki 3.
Pada tanggal 10 Juli 2003, saya menerima sebuah undangan acara KPPI dari seorang hamba Tuhan. Hati kecil saya mendorong dengan kuat, bahwa saya harus pergi ke sana jika ingin sembuh total. Di sepanjang perjalanan, saya berdoa memohon kesembuhan yang sempurna.
Saya datang ke KPPI dengan memakai tongkat, karena kondisi kaki kiri saya tidak bisa ditekuk dan kaku. Saya memuji-muji Tuhan dengan sukacita, semangat dan antusias dan saya merasakan suatu damai yang luar biasa. Tiba-tiba, saya merasakan getaran pada kursi saya dan seperti ada yang terlepas dari pinggang dan kaki saya. Seketika itu juga, saya merasa kaki kiri saya menjadi ringan dan bisa ditekuk. Ketika ibu Pendeta bertanya,”Siapa yang disembuhkan pada kaki kirinya ?” maka saya segera mengangkat tangan saya. Saya bisa melompat-lompat kembali, suatu hal yang tidak pernah bisa saya lakukan selama 18 tahun terakhir. Saya sudah dapat berjalan sendiri tanpa memakai tongkat Saya sangat bersukacita. Puji Tuhan!